Momok Radikalisme Menciptakan Keluarga Teroris yang Mematikan
Oleh Hery Sucipto
Direktur Pusat Kajian Keamanan & Strategi Global (PKKSG) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
Indonesia kembali berduka. Minggu (13/5/2018) pagi, aksi bom bunuh diri terjadi di tiga tempat berbeda di Surabaya. Tak tanggung-tanggung, targetnya gereja.
Di saat para jemaat gereja tengah berdatangan untuk melakukan ibadah, aksi biadab itu dilakukan dan memakan korban jiwa 13 orang meninggal dan 40 lebih lainnya terluka.
Presiden, Menko Polhukam, Kepala BIN, Kapolri, Panglima TNI turun ke lokasi kejadian. Presiden bahkan memberikan arahan penanganan kepada aparat kepolisian. “Bangsa dan negara tidak takut. Negara jangan kalah oleh terorisme,” ujar Presiden dalam konferensi pers.
Yang paling mengejutkan dari aksi bom bunuh diri yang menggemparkan masyarakat dalam dan luar negeri ini adalah sang pelaku. Dari penyelidikan didapatkan fakta, pelaku tak lain adalah satu keluarga: bapak, ibu dan keempat anaknya.
Sang bapak, R. Dita Oepriarto (kelahiran Surabaya 1971), Puji Kuswati (ibu, kelahiran Banyuwangi 1975), Yusuf Fadil (anak, Surabaya, 2000), Firman Halim (anak, Surabaya, 2002), Fadila Sari (anak, Surabaya, 2006), Famela Rizqita (anak, Surabaya, 2009), adalah satu keluarga pelaku bom bunuh diri yang memainkan peran masing-masing.
Dengan mengendarai mobil Avanza, Dita menurunkan istri dan dua putrinya yang masih belia di depan GKI Wonokromo Diponegoro. Puji yang menggendong tas berisi bom bersama dua putrinya meledakkan diri.
Lalu dua anak laki-lakinya boncengan sepeda motor memangku tas berisi bom beraksi di halaman Gereja Santa Maria Tak Bercela. Sementara Dita sendiri beraksi di depan Gereja Pantekosta di jalan Arjuna.
Secara pendidikan, Dita lulusan SLTA, sementara Puji sarjana muda. Dua anaknya berstatus mahasiswa dan pelajar, sementara dua anak perempuannya tidak sekolah.
Dita dan Puji tergolong berkecukupan. Tidak miskin. Dita yang berprofesi sebagai wiraswasta dan menjadi tulang punggung keluarga selama ini tak ada masalah dengan ekonomi. Sang istri, Puji, karyawan swasta.
Jaringan JAD dan JAT
Dita sekeluarga diketahui belum lama pulang dari Suriah. Menurut Kapolri Jenderal HM Tito Karnavian dalam konpresnya, pelaku bom bunuh diri terkait erat dengan jaringan teroris Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Aman Abdurrahman yang tak lain adalah pimpinan ISIS di Indonesia, serta Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Baasyir.
Poin saya adalah, potret keluarga Dita termasuk keluarga yang harmonis dan berkecukupan, bisa didoktrin dengan ideologi radikal sehingga menjadi brutal dan sadis. Semua menjadi pelaku bom bunuh diri.
Fakta ini menunjukkan bahwa paham dan ideologi radikal menjadi sumber utama tindakan teror dan aksi terorisme. Targetnya pun tak memandang kelas: dari kelas miskin hingga kalangan profesional dan berkecukupan.
Dita adalah potret lain bagaimana upaya indoktrinasi paham radikalisme dalam keluarga ditanamkan sedemikian kuat dan sedini mungkin.
Rasanya sulit diterima akal sehat anak-anak remaja, dua belasan tahu dan dua lainnya di bawah sepuluh tahun, sudah dikader menjadi teroris.
Melihat fakta hari ini di Surabaya, nampaknya kaderisasi kaum teroris berjalan dengan baik dan sistematis. Keluarga menjadi gerbang pertama dan utama kaderisasi tersebut.
Untuk itu, menjadi tanggung jawab kita semua dan meningkatkan kewaspadaan bahwa ideologi teroris bisa menyasar dan memapar siapa saja.
Teroris tak kenal agama. Teroris tak kenal Pancasila. Ideologi teroris hanya satu: meraih surga dengan membunuh dan meneror sesama. Mereka, dalam istilah Buya Syafii Maarif, berani mati tapi tak berani hidup. Inilah paham jihad mereka.
Kaum teroris akan terus beraksi mengacaukan negeri ini. Targetnya: menimbulkan ketakutan di masyarakat, memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, dan melahirkan image Indonesia tidak aman di mata dunia internasional.
Ada agenda besar seperti Pilkada, Asian Games, Sidang IMF-Bank Dunia di Bali, dan Pileg-Pilpres tahun depan. Kaum teroris berharap semua agenda tersebut gagal dan kacau.
Tak boleh main-main
Apapun, negara tak boleh kalah terhadap teroris. Negara harus terus hadir memberikan rasa aman dan nyaman.
Polri dan pemerintah harus makin tegas tanpa pandang bulu. Rakyat di belakang pemerintah memberantas radikalisme dan terorisme.
DPR sebagai wakil rakyat juga tak boleh main-main. Tak ada pilihan lain bagi DPR untuk menuntaskan revisi UU antiterorisme yang hingga kini tak jelas nasibnya.
Polri tak bisa bergerak melakukan pencegahan dini tanpa adanya bukti. Ketiadaan payung hukum ini juga jadi sumber masalah lain mengapa pemberantasan terorisme dan radikalisme tak bisa maksimal.
Dita sekeluarga telah menampar kita. Menampar keras muka bangsa Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. DPR dan semua pihak harus sadar akan hal ini.
Jadikan kebiadaban teroris Minggu pagi di Surabaya (setelah sebelumnya kebiadaban teroris di rutan Mako Brimob beberapa hari lalu), momentum membangun, merekatkan dan memperkuat kebersamaan dan keragaman.
Jangan mau diadu-domba oleh para pengecut perusak peradaban dunia itu. Pemerintah dan Polri (juga TNI), maju terus. Rakyat bela dan di belakangmu!
Comments are closed.