Virus Corona versus Rasa Takut

1

Sampai dengan saat ini, tercatat lebih dari 10 negara telah terjangkit virus Corona, mulai dari Asia, Eropa, Amerika, Australia, sampai dengan Indonesia.

Teman saya bercerita memiliki tetangga di Australia, seorang ibu yang bernama Rebecca. Dia tinggal di kota Sydney dan mengatakan kalau minggu lalu telah merubah salah satu kamar rumahnya menjadi mirip dapur umum.

“Saya mulai menimbun barang seperti masker, kacang, sayuran dan buah kaleng, kertas toilet, makanan anjing, serta barang-barang kebutuhan pokok lain untuk konsumsi selama satu bulan di sana” kata Rebecca.

Rebecca mengakui kalau dirinya sangat takut, gelisah dan panik sehingga dia berpikir akan lebih aman ketika mendengar kabar ada virus Corona yang dapat menular melalui udara—dia memutuskan untuk segera membeli barang-barang kebutuhan dasar agar tidak kehabisan akibat dibeli oleh orang lain.

Ternyata ketakutan dan kepanikan tidak hanya dialami oleh Rebecca. Hal yang sama juga terjadi saat penyakit Polio menyebar pada tahun 1950-an. Ketika itu bioskop ditutup, sekolah ditutup, air mancur publik ditelantarkan dan kolam renang dihindari.

Orang-orang dicekam rasa takut sampai tibalah hari yang mulia yaitu pada tahun 1955 ketika Dr. Jonas Salk, seorang putra imigran Rusia-Yahudi, menemukan vaksinasi yang berhasil menaklukkan lumpuh Poliomielitis.

Kita tahu bahwa sejak dahulu, ketakutan dan kepanikan itu telah berganti wujud dengan banyak nama seperti Kolera, Malaria, Ebola, Tipus dst.

Ada sebuah pepatah Arab kuno bilang, “manusia itu takut pada sesuatu yang mereka tidak tahu.” Dan kita juga punya pepatah yang serupa namun jauh lebih halus yaitu “tak kenal maka tak sayang.”

Stigma sosial

Banyak hal yang tidak kita ketahui dan dengan begitu cepat hal itu berhasil merubah akal sehat menjadi sakit. Ketakutan terbukti menular jauh lebih cepat dari pada virus apapun.

Dari ketakutan muncul stigma sosial baru untuk orang-orang dan tempat-tempat yang telah dikaitkan dengan virus sebenarnya. Di Eropa dan Amerika Serikat, orang-orang Asia telah menghadapi sorotan publik atas kehidupan mereka.

Musuh terbesar yang kita hadapi bukanlah virus itu sendiri, itu adalah stigma yang membuat kita saling berhadapan. Musuh utama kita semua hakikatnya adalah ketakutan.

Rasa takut sudah kita bawa sepanjang peradaban umat manusia. Kita sebagai spesies boleh berterima kasih kepada rasa takut.

Ia adalah mekanisme bertahan hidup paling kuat dan primitif yang memberi sinyal kepada tubuh kita untuk merespons bahaya dengan cara melawan atau lari.

Bagaimana rasa takut bekerja?

Rasa takut mempersiapkan diri kita untuk bereaksi terhadap bahaya. Begitu kita merasakan ada bahaya potensial, maka tubuh kita melepaskan hormon untuk bertahan hidup dengan cara meningkatkan fungsi yang membantu kita seperti penglihatan, detak jantung meningkat, atau pembuluh darah mengalir ke otot sehingga kita bisa berlari lebih cepat, kadar glukosa dalam darah melonjak, menyediakan simpanan energi yang siap jika diperlukan tindakan.

Demikian juga dengan kadar kalsium dan sel darah putih dalam aliran darah mengalami peningkatan.

Rasa takut juga membuat tubuh kita meningkatkan aliran hormon ke area otak yang dikenal sebagai amigdala untuk membantu kita fokus pada bahaya yang muncul dan menyimpannya dalam ingatan kita.

Orang-orang umumnya menganggap rasa takut sebagai emosi yang tidak menyenangkan, tetapi banyak orang bahkan mencari jalan sampai membayar mahal untuk memicu rasa takut – seperti menjalani olah raga ekstrim, ngebut dalam kecepatan tinggi, melompat dari ketinggian, membaca cerita horor atau menonton film-film yang menyeramkan.

Lalu bisakah kita mengamati rasa takut? Semua ketakutan Anda seperti takut mati, takut kesepian, takut kegelapan, takut miskin, takut gagal, takut gendut, takut tidak bisa menjadi pemimpin, atau takut lainnya yang berbeda-beda.

Apakah kita menyadarinya? Apakah Anda sadar saat mengalami ketakutan? Melalui rasa takut apakah kita bisa mencari sumber utama masalahnya? Ternyata akar masalah dari ketakutan adalah “aku” – bisakah kita hidup di dunia ini tanpa “aku” itu?

Ketika segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah tentang “aku” seperti sekolah, bekerja, karya seni, bisnis, politik, agama atau segala sesuatu di sekitar kita menegaskan bagaimana menumbuhkan “aku”.

Bisakah seseorang hidup tanpa “aku”? Bahkan para rohaniwan dari beragam kepercayaan mengatakan kalau manusia tidak bisa lepas dari “aku” selama berada di dunia.

Bahkan jika kita mencoba pergi dan tinggal di dalam sebuah biara yang berada di puncak gunung yang sunyi, mengubah nama lahir kita, mencurahkan sisa umur dan kehidupan kita hanya untuk beribadah ternyata “aku” juga masih ada di sana.

Rasanya kita semua suka melihat senyum bahagia dan alami dari seorang anak kecil, bagaimana kepolosan, kejujuran atau kebebasan yang terpancar dari diri mereka.

Dari seorang anak kecil, kita dapat belajar bagaimana menjernihkan pikiran serta menghilangkan rasa takut yang kita miliki. Lalu apakah kita bisa menguasai rasa takut? Tentu saja, kita bisa mulai dengan cara ini:

  1. Belajar untuk tenang dan memaafkan

Cara paling ampuh untuk belajar melepaskan “aku” adalah dengan memaafkan orang-orang yang menyakiti kita dan yang paling penting kita harus belajar untuk memaafkan diri kita sendiri.

Belajar untuk tenang, menerima, lepaskan dan terus maju. Hal ini akan membuka jendela bagi jiwa Anda, sekaligus menghilangkan hal-hal negatif untuk memberi ruang bagi kebahagiaan baru.

  1. Belajar untuk jujur dan terbuka

Kejujuran memberi kita kebebasan tanpa syarat untuk terhubung dengan diri kita sendiri daripada mencoba menjadi sesuatu yang tidak kita miliki.

Kita bukan jabatan kita, kita bukan harta milik kita, dan kita bukan prestasi kita. Tenang aja dan percayalah pada hidup! Jangan takut untuk mencoba dan lakukan apa yang membuat Anda bahagia.

Coba lakukan setiap hari sesuatu yang membuat Anda takut dan Anda akan mulai merasakan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.

  1. Belajar untuk dapat bersyukur

Luangkan waktu lima menit setiap hari untuk memikirkan semua orang, pengalaman, pelajaran, dan kesalahan yang dapat Anda syukuri.

Orang yang bersyukur merasakan lebih banyak cinta dan kasih sayang dan merasa lebih hidup daripada mereka yang tidak bersyukur.

Selesai membaca aneka ragam pesan tentang virus Corona di media sosial, saya kemudian teringat nasihat Ibu sejak masa kecil dulu – beliau bilang “coba pakai akal sehat kamu dan fokus pada apa yang dapat kamu lakukan agar kamu dapat bermanfaat bagi orang lain.”

Alam semesta berusaha menyampaikan rahasia hikmah yang sangat berharga melalui virus corona, ini bukan tentang bagaimana menjaga kesehatan secara fisik atau lahiriah, tetapi bagaimana manusia dapat mengolah kekuatan batinnya untuk tetap tenang dan belajar menguasai rasa takut sehingga menjadi sejatinya manusia.

Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering ~ Jedi Master Yoda

 

Oleh Ivan Taufiza

Penulis buku Membangun SDM Indonesia Emas dan Tenang Saja

5 Comments
  1. Buy pistols online

    … [Trackback]

    […] Here you can find 56738 additional Info to that Topic: tandaseru.id/2020/03/07/virus-corona-versus-rasa-takut/ […]

  2. … [Trackback]

    […] Find More on that Topic: tandaseru.id/2020/03/07/virus-corona-versus-rasa-takut/ […]

  3. … [Trackback]

    […] Here you will find 909 more Information on that Topic: tandaseru.id/2020/03/07/virus-corona-versus-rasa-takut/ […]

  4. ラブドール リアル says

    中国 ラブドール ダッチワイフはあなたがあなたの重要な遠距離恋愛を改善するのを助けます。

  5. helpful site

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: tandaseru.id/2020/03/07/virus-corona-versus-rasa-takut/ […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.