Pengaruh Diplomasi Covid-19 China dan Geo-Politik Uni Eropa

1

Pandemi Covid 19 berimplikasi hampir di semua aspek kehidupan, bahkan telah mengubah politik perdagangan internasional dan pola hubungan antar-negara. Misalnya, banyak negara melarang ekspor alat kesehatan (alkes) ketika kebutuhan di dalam negeri mendesak.

Selain memicu kekhawatiran munculnya arus balik terhadap globalisasi, kebijakan ini mendisrupsi rantai pasok global sehingga mendistorsi proses produksi barang tertentu yang sudah terlanjur terikat erat dengan rantai pasok industri dunia.

Covid 19 ternyata juga berimplikasi pada pola hubungan antar-negara. Di Uni Eropa (UE), misalnya, muncul kegamangan solidaritas negara anggota saat awal pandemi merebak. Alih-alih saling membantu, mereka malah menyelamatkan diri masing-masing. Sikap yang bisa dimengerti dalam situasi darurat.

Justru dalam kegagapan UE, China tampil dengan diplomasi coronanya. Selama pandemi, semua anggota UE menerima bantuan dari China berupa alat kesehatan dan tenaga medis.

Banyak pihak beropini pandemi corona menjadi pintu masuk (entry point) bagi China untuk menanamkan pengaruhnya dan mengubah konstelasi geo-politik Eropa. Karenanya menarik untuk dipertanyakan: bagaimana implikasi diplomasi corona China terhadap lansekap geo-politik Eropa? Pertanyaan ini bisa diteropong dari 3 aras observasi : ekonomi-bisnis, politik-ideologis dan militer-pertahanan.

Pertama, dari aspek ekonomi-bisnis, China sudah lama coba tanamkan pengaruhnya di Eropa. Namun manuver diplomasi secara masif baru dimainkan sekitar dekade 2010-an. Semua itu bermula dari ditahbiskannya China oleh Bank Dunia pada 2010 sebagai ekonomi terbesar kedua dunia setelah AS.

Dengan predikat itu, China percaya diri memainkan instrumen ekonomi dalam diplomasi dan politik luar negerinya.  Memang, di bawah Presiden Xie Jinping China lebih agresif menebar pengaruh di berbagai belahan dunia, termasuk dalam geo-politik Eropa – kawasan tradisional aliansi politik-militer AS-UE. Pada 2012 China menggelontorkan dana ke negara bekas sosialis-komunis di Eropa Timur (Ertim) untuk pembangunan infrastruktur dan hi-tech.

Agenda politik

Dalam perspektif geo-politik Eropa, manuver dipomasi ekonomi China tak semata berlatar kepentingan ekonomi-bisnis. Kepentingan China di Eropa beririsan dengan agenda politik UE.

UE ingin merangkul negara bekas sosialis-komunis Ertim agar sejalan dengan garis ideologis Eropa yang mengusung ekonomi terbuka, demokrasi dan kemanusiaan. Jatuhnya negara-negara itu keharibaan UE, bagi  China itu adalah peluang, sekaligus  ancaman.

Peluang, karena jika negara bekas sosialis-komunis itu menganut ekonomi terbuka, itu menjanjikan pasar dahsyat dengan daya beli tinggi. Ancaman, karena UE (dengan anggota semakin banyak) akan semakin rewel terhadap pelanggaran nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan negara lain.

Kerewelan UE ini tentu membuat China gerah. Masifnya bantuan ekonomi China kepada negara bekas Ertim dapat dilihat dalam konteks irisan kepentingan UE-China dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi tadi. Paket bantuan masif China kepada negara bekas Eropa Timur dinilai dapat meningkatkan daya tawar (leverage) China vis a vis UE.

Manuver diplomasi ekonomi China di Eropa tak berhenti disitu. Pada 2013, China mencanangkan program infrastruktur raksasa, Belt Road Initiative (BRI): pembangunan jalur kereta yang menghubungkan Beijing dengan benua Eropa.

Jalur kereta yang menjulur di sekujur benua Asia dan Eropa itu akan menjadi urat nadi pergerakan barang dari China ke Asia Tengah, Eropa Timur dan berujung di Eropa Barat. Proyek infrastruktur BRI bukan pepesan kosong, karena didukung oleh lembaga pendanaan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank).

Dari 27 anggota UE, ada 18 negara yang ikut dalam proyek BRI dan menjadi anggota AIIB. Terlihat jelas upaya China memanfaatkan kekuatan ekonomi sebagai instrumen pengembangan pengaruh di Eropa sudah dimulai jauh sebelum Covid 19 menerpa Eropa.

Covid 19 hanya menjadi pintu masuk bagi China untuk akselerasi penanaman pengaruhnya di Eropa. Bantuan kepada negara bekas sosialis-komunis, merangkul lebih dari separuh anggota UE dalam program BRI-AIIB dan membantu UE dalam pengadaan alkes selama pandemi, kesemua itu adalah wujud manuver diplomasi China di Eropa.

Dalam takaran strategi geo-politik, ditengarai China sedang memainkan jurus “memecah dari dalam“ soliditas UE. Proyek ambisius BRI boleh saja mengeratkan hubungan ekonomi China dengan beberapa anggota UE. Tapi belum tentu akan berimplikasi sama di bidang politik-ideologis di kawasan Eropa.

Kedua, diteropong dari aspek politik-ideologis, diplomasi corona China di Eropa membentangkan aras pengamatan lebih luas dari sekedar isu ekonomi-binis. Menarik diamati: China pandai betul memainkan psikologi politik Eropa.

Ketika Eropa sedang gamang menghadapi masa-masa awal merebaknya Covid 19, China justru mengabarkan kepada dunia bahwa China sukses melawan corona. Pesan itu disampaikan ketika Presiden Jinping mengunjungi rumah sakit di Wuhan pertengahan Maret lalu. Tak ayal, puluhan ton alkes dikirimkan ke berbagai negara, termasuk UE.

Bantuan medis China untuk Eropa sepertinya bukan sekadar benda mati berwujud alkes. Terselip di dalamnya pesan politik: China siap berbagi pengalaman sebagai “role model” dalam penanganan corona dengan dunia, termasuk Eropa.

Narasi besar

Maka dibangunlah narasi besar: China dengan sistem politik partai tunggalnya yang berbasis sosialisme berhasil mengalahkan corona dengan cara yang padu, kuat, efektif dan efisien. Narasi ini seolah ingin memperhadapkan sistem politik partai tunggal yang di-klaim efektif dan efisien dengan demokrasi liberal Barat yang dinilai lamban, gaduh dan panik dalam pengambilan keputusan.

Menjadi kasat mata, diplomasi corona China tidak hanya membawa misi ekonomi-bisnis dan kemanusiaan. Ada aroma politik-ideologis di sana. Menjadi pertanyaan: apakah negara anggota UE, terutama negara bekas sosialis-komunis Ertim, mau memutar balik jarum sejarah bangsanya? Mood politik dan ekonomi di Eropa, utamanya di negara-negara bekas Ertim, sudah sedemikian dalamnya terkoneksi dengan demokrasi liberal Barat dan ekonomi terbuka.

Transformasi politik dan ekonomi sejak 1990-an dimaknai sebagai kemakmuran dan stabilitasi politik bagi negara anggota UE bekas sosialis-komunis. Ketika demokrasi liberal dan ekonomi terbuka sudah menjadi politik-ideologi mainstream dunia, dengan tingkat kemakmuran ekonomi yang dinikmati selama ini, sulit bagi negara bekas Ertim berpaling ke masa lalu dengan sistem politik partai tunggal berbasis sosialis-komunis.

Dalam takaran geo-politik, narasi besar yang hendak dibangun China terkait mujarabnya sistem partai tunggal dalam menangani corona tidak akan banyak mengubah orientasi politik-ideologis Eropa.

Ketiga, jika diukur dari aspek militer-pertahanan, keuntungan politik diplomasi corona China tak lebih cerah dari aspek politik-ideologis. Akademisi politik internasional nyaris sepakat, kepemimpinan global dapat diraih jika negara memiliki 3 keunggulan: kemakmuran, kemampuan mengatasi krisis dunia, dan kekuatan militer (Campbel & Doshi, The Coronavirus Could Reshape Global Order, Foreign Affairs, 18 Maret 2020).

Sejauh menyangkut diplomasi corona, China dengan cerdik memainkan instrumen ekonomi dan kemakmurannya untuk melancarkan soft power diplomacy-nya ke berbagai belahan dunia, termasuk UE. Bantuan alkes dan tenaga medis yang dikirim bisa membantu negara anggota UE untuk mengatasi krisis.

Jika begitu halnya, itu berarti China menunjukkan kemampuannya dalam membantu dunia mengatasi krisis pandemi Covid 19. Tapi itu hanya kemampuan dalam penanganan krisis kesehatan global. Bagaimana jika terjadi krisis politik, katakanlah, di Eropa yang membutuhkan intervensi militer?

Dalam bidang militer-pertahanan, mayoritas anggota UE adalah sekutu tradisional AS dalam kerja sama militer strategis di bawah payung keamanan NATO. Dalam banyak konflik di berbagai negara, termasuk di Eropa, AS bersama negara anggota UE tidak segan menggunakan militer (hard power).

Dalam pandangan kaum realist, kemampuan untuk menjadi pemimpin dunia atau true hegemon sangat ditentukan oleh kekuatan militer. Justru karena kekuatan militer inilah AS dan UE bisa berpengaruh dalam penyelesain konflik, sehingga pada gilirannya mengubah konstelasi geo-politik di kawasan.

Justru aliansi militer strategis seperti NATO ini yang tidak dimiliki China di Eropa. Sulit membayangkan China – hanya dengan kekuatan ekonominya, tanpa kekuatan dan aliansi militer – bisa menjadi true hegemon dan mengubah konstelasi geo-politik Eropa.

Pandemi corona boleh saja dimanfaatkan China untuk menaikkan citranya sebagai pemain global yang harus diperhitungkan. Dengan kemakmurannya, China bisa saja memainkan instrumen ekonomi untuk merangkul negara anggota UE, termasuk melakukan manuver diplomasi coronanya di Eropa.

Namun untuk menjadi pemain utama yang mampu mengubah geo-politik Eropa, kekuatan ekonomi saja tidak cukup. Untuk menjadi penentu dalam percaturan politik di Eropa, China masih menghadapi kendala politik-ideologis. Apalagi dengan tidak adanya aliansi militer strategis di Eropa, China masih butuh waktu lama untuk mewujudkan mimpinya menjadi the true hegemon di bumi Eropa.

 

Penulis: Darmansjah Djumala

Diplomat senior, bertugas untuk Austria dan PBB di Vienna;  Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
6 Comments
  1. cartridge cartel

    … [Trackback]

    […] Find More on that Topic: tandaseru.id/2020/07/04/pengaruh-diplomasi-covid-19-china-dan-geo-politik-uni-eropa/ […]

  2. bio ethanol burner

    … [Trackback]

    […] Find More Info here to that Topic: tandaseru.id/2020/07/04/pengaruh-diplomasi-covid-19-china-dan-geo-politik-uni-eropa/ […]

  3. sightcare says

    Sight Care is a natural supplement designed to improve eyesight and reduce dark blindness. With its potent blend of ingredients. https://sightcarebuynow.us/

  4. Phetchbuncha stadium

    … [Trackback]

    […] Read More Information here to that Topic: tandaseru.id/2020/07/04/pengaruh-diplomasi-covid-19-china-dan-geo-politik-uni-eropa/ […]

  5. check my blog

    … [Trackback]

    […] Read More Info here to that Topic: tandaseru.id/2020/07/04/pengaruh-diplomasi-covid-19-china-dan-geo-politik-uni-eropa/ […]

  6. puravive says

    Wow, this blogger is seriously impressive!

Leave A Reply

Your email address will not be published.