Perempuan dalam Lingkaran Publik dan Politik

1

Oleh Jeni Meiyerani

Mahasiswi Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya, Sekretaris Dinas Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FMIPA Unsri, Anggota Forum Srikandi Sriwijaya (FSS)

Pembahasan perempuan dalam publik dan politik merupakan kajian yang sangat menarik akhir-akhir ini. Misalnya, ketika perempuan mau mencalonkan diri sebagai ketua suatu organisasi sering kali muncul penentangan.

Hal ini disebabkan masih adanya budaya patriarki di masyakarakat, yaitu sistem sosial yang menempatkan pemegang kekuasaan utama adalah laki-laki bukanlah perempuan.

Dalam sosial kemasyarakatan, perempuan masih dianggap tidak cukup mampu memimpin dan membuat kebijakan. Perempuan masih dianggap lebih mengutamakan emosionalitas daripada rasionalitas.

Relasi antara laki-laki dan perempuan merupakan tema yang tak kunjung usai. Bahkan, Erich Fromm mengatakan pertentangan yang terjadi antara relasi kedua jenis kelamin ini telah berlangsung sejak 6.000 tahun silam (Fromm, 2000:176).

Di Indonesia, ketidakadilan gender dalam kehidupan publik dan politik masih menjadi suatu tantangan yang terus dihadapi hingga saat ini. Terjadi tarik ulur antara peran domestik dan peran publik perempuan dalam meninternalisasi dirinya sebagai kepemimpinan sebuah organisasi.

Komitmen pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi.

Umumnya isu gender yang paling sering dibahas adalah masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai subordinal atau marginal.

Perjuangan para pemerhati masalah perempuan untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah sekian lama seolah-olah jalan di tempat karena hanya sedikit hasil yang dicapai sehingga belum sesuai dengan harapan dan cita-cita tokoh pergerakkan perempuan terdahulu.

Dilihat dari sejarah, perhatian dunia secara formal mengenai persamaan antara laki-laki dan perempuan yang telah diklarasikan oleh The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan tahun 1976 dilengkapi menjadi The International Bill of Human Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia).

Ini menandakan bahwa ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan di dunia, sehingga perlu dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara maupun masyarakat mengindahkan persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia (HAM).

Kebijakan khusus

Wanita karir adalah perempuan yang mempunyai perkembangan dan kemajuan dalam bidang pekerjaan atau jabatan dalam rangka mencapai keselamatan dan keluhuran, yang mana wanita karir memerlukan kebijakkan khusus.

Kebijakan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Undang Undang ini menyatakan bahwa kepengurusan partai politik harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Meski rumusan “memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender” itu sangat abstrak dan tidak terukur, namun undang-undang itu merupakan pijakan untuk mengembangkan kebijakan lebih lanjut.

Dengan berbagai usaha memajukan keikutsertaan perempuan bukan hanya untuk kepetingan kaum perempuan, tetapi partisipasi meraka merupakan gambaran bahwa perempuan mempunyai potensi dan potensi yang dimilikinya itu tidak kalah dengan potensi yang dimiliki kaum laki-laki dalam persoalan-persoalan domestik.

Adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan merupakan salah satu prinsip HAM yang harus dilindungi. Ratifikasi konvensi hak politik perempuan di Indonesia telah lama disahkan yaitu UU No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan.

UU ini berisi aturan mengenai kesamaan kedudukan, penjaminan persamaan memilih dan dipilih, penjaminan partisipati dalam merumuskan suatu kebijakan, jaminan kesempatan menempati diposisi jabatan birokrasi, dan adanya penjaminan dalam keikutsertaan pada organisasi sosial dan politik.

Keterwakilan perempuan mulai ada peningkatan setelah pemerintah memberlakukan perubahan terhadap UUD 1945 yaitu Pasal 28 H ayat (2). Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia menjadi sebuah urgensi masih banyak hambatan perempuan untuk duduk di parlemen itu sendiri.

Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 menegaskan, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai warga negara adalah setara.

Adanya emansipasi perempuan, membuka gerbang baru dalam eksistensi peran perempuan di Indonesia agar perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk berperan dalam rangka menyukseskan pembangunan di Indonesia seutuhnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.