Normal Baru dalam Perspektif Diplomasi dan Globalisasi

1

Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kehidupan manusia di berbagai aspek, dan perubahan itu menjadi normal baru, kebiasaan baru. Perubahan ini bisa bersifat sementara, tapi bisa juga permanen.

Misalnya, gaya hidup work from home yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan pengusaha properti bisa dianggap sebagai normal baru, tatanan baru—yang bisa saja berlangsung permanen.

Selain dampaknya di bidang ekonomi dan kehidupan sosial-profesional, normal baru akibat pandemi ini juga menarik dilihat dari sisi diplomasi dan politik luar negeri.

Spektrum isu diplomasi dan politik luar negeri sangat luas. Namun dalam wacana akademik internasional, setidaknya ada dua isu menonjol dalam bahasan terkait dampak Covid-19 terhadap politik luar negeri, yakni pelaksanaan diplomasi dan globalisasi.

Atas kedua isu itu muncul pertanyaan: Normal baru apa yang akan terjadi dalam diplomasi dan globalisasi? Pertama, terkait cara pelaksanaan diplomasi. Hubungan antar negara pun ikut terdampak sejak merebaknya Covid-19.

Seperti kegiatan manusia di bidang lainnya, pelaksanaan diplomasi harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang diterapkan negara.

Ambil contoh kegiatan diplomasi multilateral PBB dan organisasi internasional lainnya di Wina, Austria. Seturut dengan imbauan otoritas setempat, PBB dan organisasi internasional terpaksa mengadakan sidangnya secara virtual.

Ditakar dari tingkat partisipasi negara anggota, persidangan virtual tidak banyak berbeda dengan cara fisikal (tatap muka). Meski hanya virtual, kehadiran negara anggota tidak berkurang.

Begitupun dalam bahasan substansi, delegasi tidak terkendala dalam menyampaikan posisi resmi negaranya terhadap isu yang dibahas. Meski virtual, posisi resmi mereka tercatat dengan baik dalam notulensi sidang. Tidak beda dengan persidangan secara fisikal.

Meski tidak banyak beda dalam tingkat partisipasi dan efektifitas penyampaian posisi resmi, jika diukur dari aspek efisiensi waktu dan biaya, penyelenggaraan diplomasi secara virtual sungguh berbeda dibanding fisikal.

Diplomasi virtual jauh lebih murah dan cepat. Sudah menjadi rahasia umum, banyak organisasi internasional, termasuk PBB, mengalami kesulitan keuangan karena menurunnya kontribusi negara anggota.

Pada 2018, PBB mengalami krisis keuangan karena tunggakan kontribusi negara anggota yang mencapai US$1,3 miliar, 30% dari total anggaran yang dibutuhkan. Kondisi ini jauh lebih buruk dari tahun sebelumnya, tunggakan kontribusi mencapai 22%.

Di tengah kesulitan keuangan akibat menurunnya kontribusi negara anggota, PBB dan organisasi internasional perlu mempertimbangkan  diplomasi virtual ini sebagai alternatif.

Sidang yang hanya bersifat seremonial-formal dan tidak ada unsur negosiasinya bisa dilakukan secara virtual. Namun untuk persidangan yang ada kegiatan negosiasinya, pertemuan harus dilakukan secara fisikal.

Sebab dalam negosiasi, selain membutuhkan pemahaman substansi, negosiator perlu memahami “psyche” (suasana kejiwaan) dari negosiasi itu sendiri, yang hanya bisa diperoleh jika terjadi eye contact dan melihat langsung gimmick lawan negoasiasinya.

Persidangan seperti ini hanya akan efektif jika diadakan secara fisikal. Jika nanti PBB dan organisasi internasional sepakat persidangan resmi dan seremonial cukup dilakukan secara virtual, itu akan menjadi normal baru dalam diplomasi multilateral.

Globalisasi

Kedua, Covid-19 juga bisa berdampak pada globalisasi, yang bisa dipahami dalam dua perspektif yaitu sebagai proses dan sebagai tatanan.

Sebagai proses, globalisasi merujuk pada perubahan cara negara berinteraksi dalam berbagai bidang yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi.

Seiring dengan kemajuan teknologi IT dan transportasi, proses globalisasi semakin dalam dan luas, tercermin dari terkaitnya perdagangan internasional dalam satu mata rantai pasok dunia (global supply chain).

Covid-19 meledak justru pada saat globalisasi sudah berproses sedemikian dalam antar-negara. Akibatnya, terjadi disrupsi terhadap rantai pasok global karena banyak negara melarang ekspor alat kesehatan (alkes) dan bahan bakunya, karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Banyak yang khawatir, kebijakan melarang ekspor ini memutar balik arus globalisasi: negara  semakin proteksionis dalam perdagangan internasional – kebijakan yang mengingkari sabda globalisasi itu sendiri yang menitahkan liberalisasi dan perdagangan terbuka.

Pertanyaannya: apakah Covid-19 akan menciptakan normal baru dalam perdagangan internasional berupa terhentinya proses globalisasi akibat sikap proteksionis?

Tentu tidak. Sebab, sebagai proses, globalisasi akan tetap bergerak dengan putaran spiral-vertikal berbanding lurus dengan kemajuan teknologi dan imajinasi manusia.

Covid-19 tidak melahirkan normal baru dalam proses globalisasi. Ada atau tidak ada pandemi Covid-19, globalisasi sebagai proses akan tetap berlangsung. Globalisasi tak kan berhenti karena pandemi.

Normal baru justru akan terjadi pada globalisasi sebagai tatanan. Globalisasi sebagai tatanan adalah sistem yang mengatur ekonomi perdagangan dunia berdasarkan kaidah hukum yang disupervisi oleh GATT-WTO.

Banyak pihak khawatir, meningkatnya politik dagang proteksionis (melarang ekspor alkes) akan menjadi normal baru dalam praktik  dagang pasca Covid 19. Apalagi pelarangan ekspor ini tidak diharamkan dalam rezim perdagangan GATT-WTO.

Seperti diatur dalam Artikel 11 ayat 2, pelarangan ekspor boleh dilakukan sementara untuk mengatasi kekurangan yang kritis atas bahan pangan atau produk esensial lainnya.

Selain itu, Artikel 21 menjustifikasi pelarangan ekspor untuk melindungi kepentingan  keamanan terkait dengan situasi perang dan keadaan darurat (security exceptions).

Untuk memenuhi kebutuhan alkes di dalam negeri, apa boleh buat, banyak negara menerapkan larangan ekspor alkes. Pasalnya, pelarangan ekspor memang tidak dilarang dalam rezim hukum perdagangan GATT-WTO, bisa jadi prilaku proteksionis atas produk alkes ini akan menjadi normal baru dalam praktik perdagangan global.

Ada keyakinan, wabah ini pasti berlalu. Pandemi ini hanya sementara, selagi vaksin anti-Covid 19 belum ditemukan. Ketika wabah berlalu dan vaksin sudah tersedia, kebutuhan alkes di dalam negeri tak lagi mendesak.

Negara tak perlu lagi melarang ekspor dan sikap proteksionis berkurang. Pada situasi seperti ini, perdagangan global akan kembali seperti semula: mengikuti prinsip perdagangan terbuka seperti dititahkan GATT-WTO. Alhasil, normal baru berupa sikap proteksionis akibat Covid-19 hanya bersifat sementara.

Penulis: Darmansjah Djumala

Diplomat senior, bertugas di Vienna, Austria; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.

2 Comments
  1. … [Trackback]

    […] Info to that Topic: tandaseru.id/2020/06/25/normal-baru-dalam-perspektif-diplomasi-dan-globalisasi/ […]

  2. view website

    … [Trackback]

    […] Info to that Topic: tandaseru.id/2020/06/25/normal-baru-dalam-perspektif-diplomasi-dan-globalisasi/ […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.